Oleh : Hamdan Ns
Pengertian “sekularisasi”
Mengetahui proporsi suatu peristilahan, dengan menggunakan pendekatan dari segi bahasa, akan menolong menerangkan artinya lebih lanjut. Sebab, seperti dikatakan Samuelson, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, kita harus waspada terhadap “tirani kata”. Kata bisa menjerumuskan, apabila kita memberikan tanggapan yang wajar.
Pict By ; geotimes.com |
Seperti kita ketahui, kata-kata “sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa latin, yaitu saeculum yang artinya “Zaman sekarang ini”. Dan kata-kata saeculum tu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata latin yang berarti “dunia”. Kata lainnya adalah mundus. Tetapi, jika kata saeculum adalah kata waktu, mundus adalah ruang. Sedangkan saeculum sendiri adalah lawan eternum yang artinya “abadi”, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia.
Pengertian pertama tentang sekularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian. Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for a ideology, a new closed world view which function very much like a new religion (sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan-dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip dengan agama baru). Jadi sekularisasi merupakan proses dinamis, tidaklah demikan dengan sekularisme. Sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniaan. Oleh karena itu, sekalipun kita mengharuskan sekularisasi, tetapi kita tegas menolak sekularisme. Harvey Cox menerangkan perbedaan sekularisasi dengan sekularisme itu sebagai berikut :
Bagaimanapun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, bergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, yang di dalamnya masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan-dunia metafisis tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi pada dasarnya adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama unyuk suatu ideologi, suatu pandangan-dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.
Oleh sebab itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Sebab, Islam mengajarkan adanya Hari kemudian (akhirat), dan orang Islam wajib meyakininya. Gambaran tentang kaum sekularis kita dapati dalam Al-Qur’an di banyak tempat. Mereka selalu digolongkan ke dalam kelompok orang kafir. Gambaran itu, anatara lain, kita dapati dalam Surah Al-Jatsiyah (45) ayat 24 :
“Mereka (orang-orang kafir itu) berkata : “Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja.”
Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, mana yang transendental (ukhrawi) dan mana yang temporal (duniawi). Malahan, hierarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Islam menjadi senilai dengan tradisi, dan menjadi islam sederajat dengan menjadi islam tradisionalis.
Kata “tradisional” dalam makalah Cak Nur tentu dimaksudkan sebagai suatu pandangan yang kolot, yang hanya menerima ide-ide yang diturunkan dari nenek moyang mereka terdahulu, konservatif (tertutup/dari pengaruh-pembaharuan) dan tidak berwawasan ke depan. Karena itu, pandangan tersebut harus diganti oleh pandangan yang rasional dan berwawasan ke masa depan. Untuk memperkuat sekaligus mempermudah dalam memahami apa yang dimaksud sekularisasi itu, Cak Nur memberikan contoh adanya pembebasan pada penggunaan huruf latin dan ilmu pengetahuan umum dalam lembaga-lembaga pendidikan islam terdahulu di pesantren-pesantren mengharamkankan penggunaan huruf latin dan pelajaran ilmu pengetahuan umum bagi para santrinya. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang, kedua soal yang dulu diharamkan itu hampir tidak bisa dibayangkan seandainya saat ini masih dilarang dengan alasan dalil-dalil agama meskipun di beberapa tempat mungkn masih ada yang mengharamkannya. Sikap mengharamkan hruf latin dan ilmu pengetahuan umum ini adalah contoh tindakan pensakralan (sakralisasi) yang tidak pada tempatnya. Karena itu, dperlukan proses sekularisasi terhadap huruf latin dan ilmu pengetahuan umum tersebut sehingga ia menjadi sesuatu yang sifatnya yang duniawi saja.
Demikian pula istilah sekularisasi. “Sekularisme” dan “sekularisasi”, dalam konteks yang berbeda, akan pla terkena penilaian yang berbeda dan berlawanan : dilarang dan disuruh. Yang dilarang sudah jelas, yaitu penerapan sekularisme dengan konsekuensi penghapusan kepercayaan kepada adanya Tuhan. Sedangkan yang diperintahkan banyak sekali. Agama Islam pun, apabila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi terlebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran.
Setelah kita mengetahui apa yang hendak dicapai dari sekularisasi yang Cak Nur sampaikan, ada lebih baiknya kita juga belajar bagaimana proses dari pembebasan pemikiran sehingga kita berpikir sempit lagi. Di antaranya dimulai dari penegasian di kalimat tauhid.
Negasi dan Afirmasi
Untuk memahami masalah ini, marilah kita perhatikan secara lebih cermat arti yang terkandung dalam kalimat syahadat yang pertama. Kalimat itu merupakan garis pemisah antara siapa yang Mukmin dan siapa Kafir. Dalam kalimat itu terkandung dua pengertian : peniadaan (negation) dan pengukuhan (affirmation). Perkataan “tidak ada Tuhan” adalah peniadaan, dan perkataan “melainkan Allah atau Tuhan itu sendiri” adalah pengukuhan. Jadi, negasi ketuhanan dalam kalimat syahadat adalah negasi terbatas, tidak mutlak. Sebab, memang tidak demikian yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan ialah membebaskan manusia dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya.
Interaksi antara Animisme dan Tauhid
Sekarang bagaimana gambaran interaksi antara Animisme (boleh juga plus Hinduisme) dan Tauhid itu? Interaksi itu berada dalam proses demikian : mula-mula seorang animis, sebelum masuk ke dalam kepercayaan Islam, harus terlebih dahulu menanggalkan sama sekali kepercayaannya. Dia harus memandang benda-benda itu menurut apa adanya, secara objektif, tidak dilebihkan dan tidak pula dikurangi. Materi dan spirit, atau benda dan jiwa (jism dan ruh) , menjadi satu, tidak dapat dibeda-bedakan.
Sekarang Islam datang dengan ajaran tauhidnya yang tidak ada kompromi itu. Maka dengan tauhid itu, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang animis. Semua benda yang dipuja dan kesemuanya mengandung nilai akhirat, spiritual atau agama, sekarang ia campakkan ke bumi, dan dipandangnya sebagai tidak lebih daripada benda duniawi belaka. Benda-benda itu, dengan demikian diduniawikan atau disekularisasikan.
Hari Dunia (Ula) dan Hari Agama (Akhirat)
Ada satu hal lagi yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini : yaitu, konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari adanya konsep tegas itu, hanyalah terbit dari gejala kecendrungan apologetis (pembelaan, mempertahankan gagasan, kepercayaan). Keterangan tentang Hari Agama dalam kitab suci, salah satunya, yang dengan cukup tegas menerangkan tentang Hari Agama terdapat pada Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19 : “Tahukah kamu, apakah itu Hari Agama? Sekali lagi, tahukah kamu apa itu Hari Agama? Yaitu hari ketika tidak seorang pun dapat berbuat sesuatu untuk orang lain, dan segala urusan (perintah) pada waktu itu ada di tangan Tuhan semata-mata”.
Maka Hari Agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar-manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah hubungan antar manusia dan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi hukum-hukum sekuler, atau duniawi dan yang berlaku ialah hukum ukhrawi. Oleh sebab itu, diterangkan bahwa manusia seharusnya memperhatikan kedua segi kehdupan itu : menjalankan ajaran keagamaan sebaik-baiknya guna menyiapkan hidupnya di Hari Akhirat atau Hari Agama, dan bersungguh-sungguh dalam kehidupan duniawi ini dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam kita suci, yang pertama disebut hablum minallah (tali hubungan dari Tuhan), dan yang kedua disebut hablum minannas (tali hubu ngan dari sesama manusia). Dengan mempercayai wahyu, kita mengetahui adanya hubungan dengan Tuhan. Percaya, atau iman, ini kita peroleh karena adanya hidayah atau petunjuk Tuhan, bukan kegiatan intelektual semata.
Oleh karena itu, terdapat konsistensi antar sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah : pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini, dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Kemudian terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab pendekatan rasional kepada suatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral, tabu, dan lain-lain menjadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, untuk kembali kepada prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap dan tidak mentabukan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu. Dan karenanya, tak mungkin dimengerti oleh manusia dengan rasionya. Artinya, dengan bertitik tolak dari syahadat itu, manusia dapat memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu kecerdasan.
Jika kita menghendaki kebahagian di dunia dan di akhirat, kita harus beriman dan berilmu sekaligus, yang kemudian keduanya, iman dan ilmu, itu akan mewarnai amal perbuatan kita. Penggabungan antara kedua iman dan ilmu itu, dengan masing-masing cara pendekatannya, hendaknya ada pada setiap pribadi Muslim. Sebab, pada tingkat sebenarnya, penghayatan nilai spritual/keagamaan bukanlah hasil kegiatan yang serba rasionalistis dan, demkian pula sebaliknya, masalah-masalah duniawi tidak dapat kita dekati dengan metode spritualistis. Keduanya mempunyai bidang yang berbeda, meskin antara iman dan ilmu terdapat pertalian yang erat : pertalian antara sumber sumber motivasi, atau dorongan batin (niat), dan keterangan tentang cara yang tepat untuk satu bentuk kegiatan amal.
Demikian tentang pemikran Cak Nur terkait sekularisasi, alangkah baiknya sebagai pribadi muslim untuk mempunyai jiwa dan keinginan untuk memperbaharui keagamaan sehingga tidak lagi hanya membaca teks, akan tetapi bagaimana pengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat mau pun beragama. Wallahu a’lamu bisshawab.
Comments
Post a Comment